Resha Agriansyah Partnership (RAP) melalui Resha Agriansyah Learning Center telah menyelenggarakan Seminar Hukum Nasional 2024 bertajuk ‘Kontroversi Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3 Tahun 2023’ dengan subtema PKPU/Pailit Pengembang Apartemen dan/atau Rumah Susun Tidak Memenuhi Syarat Pembuktian secara Sederhana’ pada Jumat (1/3) di Habitare Hotel Kuningan, Jakarta Selatan. Sejumlah praktisi dan akademisi menjadi narasumber pada acara ini, di antaranya Guru Besar Hukum Kepailitan Universitas Airlangga, Prof. Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H.; Ketua Dewan Standar Profesi AKPI, Muhammad Ismak, S.H., M.H.; Ketua Dewan Penasihat AKPI, Jamaslin James Purba, S.H., M.H.; dan Ahli Ilmu Perundang-undangan Universitas Indonesia, Dr. Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H.; Ketua Umum AKPI, Imran Nating, S.H., M.H.; dan Dekan Fakultas Hukum UKI, Dr. Hendri J. Pandiangan, S.H., M.H.
Dalam sambutannya, Managing Partner RAP, Advokat, Kurator, dan Wasekjen AKPI, Dr. Resha Agriansyah, S.H., M.H. mengucapkan rasa terima kasihnya kepada seluruh panitia pelaksana. Ia berharap, seminar yang mayoritas didatangi oleh pihak perbankan ini dapat mencari solusi terbaik.
“Ini ada pro dan kontra. Di SEMA, langsung diklaim tidak memenuhi syarat pembuktian sederhana, sementara itu belum dicoba. Padahal, UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU mensyaratkan bahwa harus dibuktikan terlebih dulu. Rencananya, kami akan menyusun satu resume hasil seminar ini. Beberapa pendapat, masukan, maupun pro dan kontra akan kami terbitkan dan kirimkan ke MA,” kata Resha yang juga menjadi moderator pada acara ini.
Perihal SEMA dan Pembuktian Sederhana
Dekan Fakultas Hukum UKI, Dr. Hendri J. Pandiangan, S.H., M.H. mengungkapkan, ada kontroversi antara SEMA No. 3 Tahun 2023 dengan UU No. 37 Tahun 2004. Terlebih, dalam hierarki perundang-undangan, Surat Edaran (Mahkamah Agung) dianggap sebagai peraturan kebijakan, yang berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, sehingga tidak dapat mengubah atau menyimpangi peraturan perundang-undangan.
“UU No. 37 Tahun 2004 tentang KPKPU adalah kekuatan yang bersifat normatif (mengikat) dan berlaku umum, sementara SEMA No. 3 Tahun 2023 merupakan aturan yang bersifat administratif yang berlaku internal,” kata Hendri.
Hendri pun dengan tegas menyatakan, bahwa SEMA ini merupakan kontroversi dan memiliki banyak mudarat. Untuk itu, ia menyarankan dicabut sama sekali, atau diubah dan didetailkan.
Sementara itu, dalam pemaparannya, Guru Besar Hukum Kepailitan Universitas Airlangga, Prof. Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H. banyak menjelaskan tentang definisi dan fungsi pembuktian sederhana dalam permohonan pailit/PKPU; juga pelindungan hukum konsumen dalam kepailitan atau PKPU pengembang apartemen.
“Adanya pembatasan pada developer juga menjadi problem. Pada developer-developer yang mangkrak, konsumen atau bank tidak punya kepastian. Jadi, jika niatnya ingin melindungi konsumen, hal ini tidak terjadi karena justru merugikan konsumen. Pemberian kepailitan secara eksklusif pada jangka panjang bisa merugikan developer, ketika ia ingin melakukan restrukturisasi terhadap perjanjian. Pembuktian sederhana pada kepailitan adalah soal syarat, bukan akibatnya,” kata Hadi.
Membawakan materi ‘Surat Edaran dalam Perspektif HAN dan Perundang-undangan’, Ahli Ilmu Perundang-undangan Universitas Indonesia, Dr. Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H. mengangkat permasalahan-permasalahan terkait SEMA No. 3 Tahun 2023. Beberapa di antaranya karena SEMA ini mengecualikan ‘permohonan pernyataan pailit atau PKPU terhadap pengembang (developer) apartemen dan/atau rumah susun dari UU No. 37 Tahun 2004; adanya praktik dan substansi yang berbeda (posisi SEMA yang menentang atau justru mengatur lebih spesifik); hingga kekuatan surat edaran jika dibandingkan dengan UU.
“MA perlu mendengar ada persoalan. Dia bukan lembaga pembentuk peraturan baru. SEMA juga hanya bisa menyirkulasikan kebijakan, bukan membentuk norma baru. SEMA bersifat internal dan mengatur mengenai hal-hal tertentu. Ketika surat edaran ini menimbulkan kontroversial, seharusnya ia dapat diubah dengan yang lebih tepat penggunaannya,” Fitriani menjelaskan.
Para narasumber Seminar Hukum Nasional 2024 yang digelar RAP melalui Resha Agriansyah Learning Center. Foto: istimewa.
Administratif dan Internal
Ketua Dewan Penasihat AKPI, Jamaslin James Purba, S.H., M.H. menguraikan, secara struktur—SEMA bukanlah peraturan. SEMA mungkin lahir dari banyaknya permasalahan PKPU dan kepailitan dalam praktik. Namun, kewenangan SEMA cukup dibuat administratif dan internal, bukan menilai suatu perkara.
Diterbitkannya SEMA No. 3 Tahun 2023 sendiri, menurut James, bertentangan dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pasalnya, dalam UU Kepailitan sudah ada batasan (Pasal 2 ayat 5) tentang bidang usaha yang diberikan pelindungan khusus terhadap perkara pailit maupun PKPU. Di sisi lain, SEMA ini memberikan konsekuensi hilangnya upaya hukum, sebab permohonan pailit atau PKPU terhadap pengembang rumah susun, tidak dapat lagi diajukan ke Pengadilan Niaga, melainkan hanya dapat melalui gugatan perdata ke Pengadilan Negeri.
“Permohonan PKPU atau pailit harus dibuktikan sederhana atau tidak melalui pengadilan. Developer juga membutuhkan PKPU untuk mengajukan restrukturisasi. Surat edaran tidak mengatur permasalahan dan tidak dapat dilakukan judicial review,” ujar James.
Senada dengan James, Ketua Umum AKPI, Imran Nating, S.H., M.H. mengungkapkan, pada dasarnya SEMA No. 3 Tahun 2023 bertujuan untuk melindungi konsumen dan developer. Pasalnya, dalam peristiwa kepailitan apartemen (khusus yang belum selesai pembangunannya) konsumen berperan sebagai stakeholder dan kreditur konkuren. Dengan kata lain, pembagian harta pailit tidak mungkin dapat mengembalikan keseluruhan investasi konsumen yang telah dipercayakan kepada developer.
“Pembuktian sederhana saat ini hanya berdasarkan pertimbangan hakim semata, sehingga dapat menciptakan inkonsistensi dalam putusan. SEMA adalah aturan internal, tetapi pasti akan diikuti para hakim dan ini benar-benar menyalahi. Perlu adanya aspek pertimbangan kesehatan keuangan debitur,” kata Imran.
Terakhir, Ketua Dewan Standar Profesi AKPI, Muhammad Ismak, S.H., M.H. menerangkan, SEMA sudah memberikan pedoman, PKPU terhadap pengembang/developer tidak memenuhi syarat sebagai pembuktian sederhana. Dalam hal ini, hakim tidak berkewajiban dan terikat untuk selalu berpedoman kepada SEMA, karena kedudukan SEMA tidak setara dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, SEMA juga tidak dapat membatalkan peraturan perundang-undangan.
“SEMA sebagai diskresi yang digolongkan sebagai peraturan kebijakan, substansinya harus sekadar bersifat membimbing, menuntun, memberi arahan kebijakan, dan mengatur pelaksanaan tugas yang lebih bersifat administrasi. Meskipun terlihat mirip, namun peraturan kebijakan seperti SEMA bukanlah peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan,” pungkas Ismak.
Sumber:
https://www.hukumonline.com/berita/a/resha-agriansyah-partnership-ajak-masyarakat-pahami-kontroversi-sema-no-3-tahun-2023-lt65f16a7487904/?page=all